Gesang Tetap Gesang (Hidup) dalam Karyanya

Senin, 31 Mei 2010 komentar
Bengawan Solo

Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu
Jadi perhatian insani

Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Di musim hujan air
Meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatmu dulu
Kaum pedagang
S’lalu naik itu perahu

Itulah lagu Bengawan Solo berirama keroncong karya komponis Gesang Martohartono yang sudah sangat terkenal bahkan bukan hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri, justru telah diterjemahkan ke dalam tiga belas bahasa asing. Namun saya terkenang pada peristiwa di penghujung tahun 1960-an (tahun 1968 atau 1969) PWI Kring Medan mengadakan Lomba Nyanyi antar wartawan anggota PWI.
Peristiwa itu diadakan di gedung Pendam II/BB Jalan Listrik Medan, karena PWI belum punya gedung sendiri dan masih menompang di gedung Pendam tersebut. Yang unik justru lagu wajib dalam lomba tersebut adalah Bengawan Solo, walaupun tidak dibawakan dalam irama keroncong (padahal pada zaman itu keroncong masih cukup digemari di Medan, dan banyak orkes keroncong yang selalu tampil di RRI).
Maka berlomba-nyanyilah kaum "kuli-tinta". Mengasyikkan! Karena bermacam-macamlah cara mereka menyanyi. Ada suaranya rendah, ada yang nyaring tinggi membuat telinga pendengar berdenging, tapi ada pula yang mendatar saja tak tentu iramanya, namun tak sedikit pula yang bagus dan seronok didengar dan keluar mendapat nomor sebagai pemenang juara sekian dan sekian. Yang menarik adalah pada babak penyisihan para peserta harus bernyanyi solo tanpa iringan musik. Tapi pada babak final ada grup musik yang mengiringi. Babak belur-lah para penyanyi amatiran tersebut, bahkan ada yang lari tak berani masuk final.
Tapi sudahlah, itu kenangan manis tempo doeloe. Cuma saya jadi teringat, karena pencipta lagu Bengawan Solo itu, Gesang Martohartono, meninggal-dunia dalam usia 93 tahun pada hari Kamis 20 Mei 2010 (bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional). Yang menyedihkan justru lagu ini sudah kurang terdengar. Bahkan irama keroncong pun sepertinya ditepikan, dianggap lagu jadul (jaman dulu), dan teramat jarang disiarkan atau di tayangkan oleh radio maupun televisi (swasta). Kecuali TVRI yang masih mempunyai tayangan tetap Gebyar Keroncong setiap Jumat malam (malam Sabtu jam 22.00 WIB).
Tayangan ini diisi oleh berbagai orkes keroncong dari Jakarta, Yogya, Bandung, Malang, secara bergantian, dan para penyanyi keroncong ada yang tua dan tidak ketinggalan penyanyi muda, serta dipandu oleh penyanyi keroncong lin Indriani. Ternyata tayangan ini masih tetap mendapat sambutan para penggemar keroncong, yang dinilai sebagai irama musik pusaka Indonesia. Sayangnya, kebanyakan TV swasta sepertinya "mengharamkan" keroncong. Barulah setelah Sang Maestro meninggal, beberapa stasiun TV swasta menayangkan berita dukacita yang, dibarengi sajian lagu-lagu keroncong.
Gesang yang dilahirkan di Solo 1 Oktober 1917. ternyata tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, tetapi juga di mancanegara. Gesang dengan lagunya Bengawan Solo sangat dikenal di Jepang, bahkan mereka membentuk yayasan, dan selalu mengirimkan honor karena lagu ciptaan Gesang itu disiarkan/ditayangkan dan direkam dan diedarkan kepada publik. Malahan lagu Bengawan Solo hadir dalam film Jepang "Stray Dog" karya sutradara terkenal Jepang, Akira Kurasawa.
Terkenalnya lagu Bengawan Solo di Jepang bermula datangnya beberapa orang Jepang menemui Gesang di Solo. Pimpinannya bernama Mitsuo Hirano. Dia menceritakan, sudah lama mendengar dan menggemari lagu karya-karya Gesang terutama lagu Bengawan Solo. Sebab di masa Perang Dunia II Mitsuo Hirano sebagai anggota militer Jepang bertugas di Solo, dan dia bersama teman-temannya selalu melihat atau menonton Gesang (ketika itu masih muda) menyanyi di berbagai pertunjukan umum, maupun di sandiwara keliling (Bintang Soerabaja) di mana Gesang menjadi anggotanya.
Menurut Mitsuo Hirano, lagu Bengawan Solo sangat populer di Jepang. Yang memperkenalkan atau mempopuler lagu tersebut adalah mantan anggota militer Jepang yang pernah bertugas di Indonesia, khususnya di Jawa. Mereka hafal kata-kata lagu tersebut dan mampu menyanyikannya. Anak-anak sekolah Jepang juga menyenangi lagu tersebut, apalagi setelah kata-katanya diter-jemahkan ke dalam bahasa Jepang, namun irama lagunya tetap sama. Anak-anak sekolah di Jepang mengenal Indonesia lewat Bengawan Solo.
Lagu ini pun dikenal di China, bahkan juga di Belanda. Saya terkenang, ketika suatu siang di tahun 1980-an bersama beberapa rekan wartawan Medan (anggota PWI) hendak makan siang dan memasuki sebuah restoran di tepi pantai Scheveningen, Belanda, mendadak diperdengarkan lagu Bandar Jakarta dan Bengawan Solo dalam irama keroncong. Ternyata keroncong dikenal di Belanda.
Selama hidupnya yang hampir satu abad (1917-2010) Gesang telah melahir-kan 42 lagu keroncong dan langgam Jawa. Yang paling populer adalah Bengawan Solo, Saputangan, Jembatan Merah, Tirtonadi, Roda Dunia. Bumi Emas Tanah Airku, Sebelum Aku Mati, Caping Gunung, juga Tembok Besar (hasil kunjungannya ke China), juga Seto Ohashi (Jepang).
Lagu-lagu karya Gesang ini lebih banyak memuji keindahan alam tanah-airnya, bumi pertiwi yang sangat dicintainya. Tapi tak urung tentu ada juga yang bertema cinta (Putus Cinta), kritik (Caping Gunung), juga perjuangan bangsa. Karya-karyanya ini banyak yang menghiasi film-film nasional di masa jayanya dulu. Bahkan ada film yang berjudul Bengawan Solo produksi Tans Wong Bros tahun 1949 yang dibintangi Sofia (Sofia WD, bintang terpo puler saat itu), Raden Mochtar, Mochamad Mochtar, Sukarsih, S.Waldy, Ratna Rutinah, dengan sutradara (istilah di saat itu regisur) Jo An Tjiang. Film ini termasuk yang laris manis (box office) di zamannya.
Lalu ada film Saputangan juga tahun 1949 produksi Bintang Surabaya Film (semula ini nama grup sandiwara pimpinan Fritz Young dan Gesang menjadi salah seorang anggotanya). Film ini dibintangi Chatir Harro, Natty Herawati, Astaman, Darussalam, Suryono (Pak Kasur, pencipta lagu anak -anak), dengan sutradara Fred Young
Gesang hanya berpendidikan Sekolah Rakyat (SD). Maka dia tak mampu menulis lagu-lagunya dengan notbalok. Jika inspirasinya muncul setelah mengalami suatu peristiwa, atau terkagum pada keindahan alam, atau karena cintanya putus, biasanya dia hanya gerenengan (bergumam), lalu menuliskan syairnya, kemudian musiknya ditulis oleh temannya yang musikus, yang ditulis berdasarkan gerenengannya.
Kini Gesang sudah tiada. Namanya ketika dilahirkan adalah Soetadi. Tapi di masa kecilnya selalu sakit-sakitan maka orangtuanya menukar namanya menjadi Gesang (bahasa Jawa, artinya hidup), Dan Gesang memang hidup dalam usia yang panjang, 93 tahun. Dan hidupnya pun tidak sia-sia, menciptakan lagu-lagu keroncong yang dinilai sebagai budaya pusaka Indonesia.
Meskipun ada generasi muda yang kurang simpati terhadap keroncong, namun beberapa musisi muda berupaya melangenkan keroncong dalam bentuk yang katakanlah "di-modern-kan". Ini misalnya dilakukan oleh Viky Sianipar. yang banyak mengolah lagu daerah dengan versi yang dibarukan.
Memang keroncong jangan sampai mati, harus dilestarikan, itulah pesan Gesang berkali-kali. Mudah-mudahan pintanya terkabul, Gesang akan tetap gesang (hidup) dalam karya-karyanya.

komentar

Posting Komentar

About

my logo

my logo

My Playlist

Pages

Blog Archive

Followers