biografi ucok aka

Selasa, 18 Mei 2010 komentar
“Band rock Indonesia tidak akan sukses apabila tidak pernah menjajal kerasnya panggung rock kota Malang”; sebuah quote yang mungkin dapat dengan serta merta disanggah ketika sebagian orang mungkin akan berteriak Jakarta atau Bandung. Tetapi demikianlah sebuah penegasan dari seorang sesepuh yang mengawali segenap drama panggung rock Indonesia. Bermula dari sebuah racikan seorang apoteker jenius di bilangan Kali Asin Surabaya, pada pertengahan dekade 60an, ditambah racun racun Led Zeppelin, Deep Purple, Grand Funk Railroad & Jimmy Hendrix yang semerbak mewangi dalam neraka panggung rock kota Malang, lahirlah AKA Band yang dikemudian hari melejitkan seorang nama fenomenal, Ucok AKA.


Ketika peta musik Indonesia dekade 60an didominasi oleh balutan generasi bunga dari para poppies seperti Koes Bersaudara, maka tahun 67 adalah halaman awal dalam buku sejarah musik rock Indonesia. Karena untuk pertama kalinya berdiri sebuah band rock dengan performa yang garang dan skill berakselerasi maksimum bernama AKA band. AKA atau disebut juga Apotik Kali Asin ini digawangi oleh Arthur Kaunang [ayah artis Tessa Kaunang], Sonata Tandjung, Sjech Abidin, serta Andalas Datoe Oloan Harahap atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ucok AKA.

Seperti kita tahu, bahwa resesi ekonomi & konflik politik pada tahun itu membuat segala hal dalam kehidupan menjadi sangat sulit. Namun kecerdasan seorang apoteker pecinta musik rock bernama Ismail Harahap [ayah Ucok AKA] yang kemudian melahirkan dan melambungkan AKA Band. Sebuah anugerah yang sangat besar pada era itu ketika seorang ayah merestui anaknya sendiri untuk menjadi rock star. AKA band inilah yang di kemudian hari turut memicu berdirinya band band rock Indonesia yang lain seperti Giant Step [Bandung] dan juga Trencem [Solo] yang digawangi oleh Setiawan Djodi.

Tahun tahun awal eksistensi mereka adalah sebuah masa penggodokan yang membentuk karakter bermusik mereka. Panggung panggung neraka musik rock di Jawa Timur utamanya di Malang dan Surabaya pada era akhir 60an dan awal 70an menempa mereka untuk menjadi seorang rocker berkualitas yang benar benar berkarakter. Simak saja skill berakselerasi maksimum ala Led Zeppelin, Jimmy Hendrix ataupun Grand Funk Railroad, kemudian beat beat rocknroll liar sejenis Deep Purple yang banyak mempengaruhi lagu lagu AKA. Ditambah lagi dengan aksi teatrikal sinting dari sang vokalis nyentrik yaitu Ucok AKA, seperti menyanyi sambil bergelantungan terbalik di ketinggian 10 meter, jumpalitan jungkir balik seperti seorang atlit senam, ataupun membawa bawa peti mati, dll. Konsep performance raw seperti ini memang telah direncanakan sebelumnya sebagai sebuah hiburan tersendiri bagi audiences yang datang dari berbagai pelosok daerah. Komposisi entertaintment panggung AKA sendiri kurang lebih 60% adalah musik sementara 40% adalah performance. Walaupun performance seperti ini seringkali dimaksudkan untuk menutupi ketakutan dan demam panggung Ucok AKA sendiri. Hahaha … jika saja Ozzy Osbourne atau Iggy Pop dilahirkan lebih awal untuk dapat menikmati kegilaan Ucok AKA, mungkin akan terjadi kolaborasi unik antara mereka.

Kesemua ini kemudian membuat nama mereka menjadi hip dan sangat diperhitungkan di setiap panggung rock Indonesia pada dekade 70an. Hampir setiap lawatan konser mereka di berbagai kota besar Indonesia selalu memancing histeria massa. Bahkan keriuhan panggung ini pada suatu waktu berubah menjadi rusuh terutama ketika Ucok AKA mengcover lagu Sex Machine milik James Brown dalam versi yang lebih liar, performance sensual dan ugal ugalan. Karena modus modus operandi seperti inilah, AKA band membuat pejabat pejabat pemerintah dan tokoh tokoh agama di seluruh Indonesia terbakar jenggotnya serta bersepakat mencekal mereka dari setiap panggung rock Indonesia.

Atas dasar pencekalan dari para birokrat, maka AKA Band menempuh jalan yang lebih subversif dalam eksistensi mereka, underground !!!. Mereka kemudian hijrah ke negeri tetangga yaitu Singapore dan Malaysia. Disini mereka membuat album rekaman dan merilis lagu dalam bahasa Inggris yaitu Crazy Joe. Seperti kita ketahui, pada era itu, atas dasar nasionalisme, sistem birokrasi Indonesia menetapkan bahwa semua karya musik wajib berbahasa Indonesia, sehingga Crazy Joe menjadi sebuah lagu yang sangat subversif disini.

Namun gayung bersambut, Crazy Joe yang didedikasikan untuk seorang teman Ucok AKA yaitu pegawai Apotik Kali Asin bernama Joe yang turut membidani kelahiran AKA band, kemudian mendapatkan tempat terhormat dalam arena sadis industri musik bernama chart. Ketika itu radio Australia, dengan frontman Ebet Kadarusman [Kang Ebet] pada siarannya, menetapkan Crazy Joe pada anak tangga pertama chart. Kesuksesan ini diikuti dengan kesuksesan lain dimana single Badai Bulan Desember laku tercetak sebanyak 1 juta keping. Sebuah ukuran yang kemudian menetapkan Badai Bulan Desember sebagai salah satu lagu rock legendaris di Indonesia.

2 tahun di Singapore, mematangkan mereka. Lirik lirik lagu bertema alam, kekerasan, dan tidak jarang religi serta kehidupan sehari hari mendewasakan karya mereka. Sehingga ketika mereka mondar mandir di panggung lokal Singapore seperti West Point Garden dan Tropicana, pedagang sadis setempat bernama EMI Singapore tertarik untuk merekrut mereka. Jenuh dengan kecilnya negeri Singapore, mereka kembali ke Indonesia. Dan di negeri ini, bukannya mereka kapok terhadap black list, akan tetapi semakin menggila. Tata panggung yang sangat horor dan performa liar ugal ugalan, kemudian menetapkan mereka sebagai ikon rock Indonesia. Oleh karena itulah maka pada hampir setiap konser band rock internasional papan atas di Indonesia, AKA adalah sebuah kunci pembuka.

1974 adalah sebuah angka penting yang mengklimakskan perjalanan AKA band. AKA bubar jalan ketika mencapai puncak kejayaan, dan kemudian para personel AKA minus Ucok pada tahun 1975 membentuk grup rock yang juga legendaris yaitu SAS. Lalu sebenarnya apa yang membuat AKA band runtuh pada waktu itu ?

Perempuan adalah kata kuncinya. Ucok AKA yang telah beristri dan beranak ini, larut dalam buaian asmara yang memabukkan bersama seorang fans wanitanya. “saya jatuh cinta dengan seorang wanita dan kemudian lari bersamanya, sialnya dia anak pejabat”, demikian kata Ucok AKA yang kini akrab dipanggil Eyang Ucok. Ucok AKA memang jatuh cinta dan kawin lari bersama seorang perempuan cantik jago karate bernama Farida. Kenyataan inilah yang kemudian meruntuhkan kejayaan dinasti imperial AKA band.

Kisah hidup Ucok AKA dan Farida selanjutnya adalah sebuah drama romantis pasangan kekasih bohemian rocknroll yang jauh lebih klasik ketimbang Kurt Cobain dan Courtney Love. Melarikan diri ke belantara metropolitan Jakarta, hidup di lorong lorong gang sempit, tidur di kamar tumpangan yang sumpek bekas gudang stasiun Gambir, sampai menyewa sebuah kamar hotel kelas kambing di daerah Senen Jakarta.

Namun justru saat hidup bersama Farida inilah, nama Ucok AKA benar benar terasah menjadi seorang seniman kelas atas. Adalah seorang anak muda bernama Ali Shahab, seorang sutradara film yang di kemudian hari cukup disegani sebagai salah seorang maestro film Indonesia, yang menemukan Ucok bersama istrinya yang sedang hamil tua, duduk menggelandang di stasiun Gambir Jakarta. Perkenalan ini kemudian membuka jalan Ucok AKA dan istrinya kedalam dunia layar lebar. Dan Ratno Timoer yang kemudian menjadi dokter yang melahirkan film pertama yang dibintangi Ucok AKA pada tahun 1977 yaitu Ciuman Beracun. Semenjak itulah Ucok AKA rajin mondar mandir di layar lebar, kebanyakan film dengan judul judul butut, yaitu mulai dari film Manusia Purba, Darah Muda, Lonceng Maut, Gara Gara Gila Buntut, Tante Sun, Ratapan Anak Tiri II, dll.

Namun dari kesemua itu yang cukup penting dicatat adalah film Duo Kribo yang dirilis pada tahun 1978 bersama nama nama besar seperti Achmad Albar, Remy Silado, dll. Film ini cukup fenomenal selain karena mendapatkan penghargaan bergengsi di ajang film tanah air juga merupakan penanda berakhirnya secara resmi perseteruan dan persaingan antara dua orang rocker papan atas yaitu Ucok AKA dan Achmad Albar. Selain itu juga Duo Kribo kemudian menjadi nama band rock mereka dimana lagu lagu ciptaannya banyak menjadi hits di tangga lagu bergengsi radio radio kota besar Indonesia. Mungkin jika sempat terbersit di telinga anda tembang tembang kenangan dari sebuah siaran radio, lagu lagu rock legendaris seperti Neraka Jahanam ataupun Panggung Sandiwara [ciptaan Ian Antono], maka patut diingat pula bahwa Duo Kribo inilah yang pertama kalinya mempopulerkan.

Ucok AKA sendiri tidak malu untuk mengakui dirinya melacurkan diri sebagai seorang pekerja film komersial. “Waktu itu saya butuh 600 ribu buat hidup sama buat biaya tinggal, makanya saya main film”, demikianlah pengakuannya. Tetapi bukan berarti naluri rockernya tergadaikan begitu saja, tercatat salah satu film yaitu Darah Muda yang dibintangi bersama Rhoma Irama, merupakan salah satu monumen kekecewaannya akan apresiasi publik terhadap musik rock. “Saya selalu main jadi pemabuk, pembunuh, pemerkosa, gara gara saya main musik rock, sementara Rhoma dapat yang baik baik”.

Bayang bayang sex drugs & rocknroll yang menstereotipkan kegilaan Ucok AKA memang telah melekat kuat dalam benak masyarakat modern pengidap post flower syndrome. Walaupun untuk permasalahan drugs sendiri Ucok menyanggah dengan keras, ”setiap performance saya selalu gila gilaan, butuh tenaga tinggi buat lompat lompat, jungkir balik sana sini dan digantung gantung, kalo saya pake drugs, gimana saya bisa kayak gitu …”. Sebuah pernyataan yang logis bukan ? Karena baginya kesuksesan dalam sebuah acara adalah nomor satu.

1982 kembali menjadi tahun yang mengejutkan bagi Ucok AKA. Ayahnya yang sakit memaksa dirinya pulang ke Lawang, distrik utara kota Malang. Rumah besar yang baru saja dimiliki di bilangan Sawangan, Jakarta Pusat ditinggalkan Ucok AKA dan Farida beserta kedua anak mereka begitu saja demi bakti kepada orang tua. Namun yang paling parah adalah ketika istrinya meninggalkannya. Rumah tangga Ucok AKA dan Farida yang memang tidak pernah direstui orang tua Farida berakhir ketika seorang pesuruh dari keluarga orang tua Farida datang ke Lawang menjemput pulang Farida dan kedua anaknya. Peristiwa ini selain mengakhiri kisah romantis dari pasangan kekasih bohemian rocknroll, juga disatu sisi mempengaruhi mental Ucok AKA dalam perjalanan kehidupannya kedepan.

Tahun tahun berikutnya mirip cerita infotaintment kekinian yang berisi dengan kisah kawin cerai. Tercatat beberapa wanita kemudian pernah mendampingi statistik hidup Ucok AKA, beberapa bahkan terpaut usia belasan tahun dengan Ucok AKA. Bahkan istri ketiganya, merupakan sebuah bukti trauma pasca perceraian Ucok AKA dari perkawinan sebelumnya, dimana istri ketiganya ini secara fisikal cukup mirip dengan Farida. Ucok AKA kemudian harus menyadari sebuah kebenaran ungkapan klise yaitu cinta tak harus memiliki. “Kalo boleh milih saya ingin sukses dalam keluarga dibanding dalam musik rock, cuma Tuhan punya rencana lain, saya terus terusan dibelokin, jadinya malahan sukses di musik bukan di keluarga”, sebuah pernyataan pahit nan manusiawi seorang Ucok AKA yang kemudian terbukti dalam berbagai hubungan rumah tangganya yang berantakan.

Ketika dekade 80an menjadi gemerlap bagi para generasi elektrik, tidak demikian halnya dengan Ucok AKA. Pamornya yang mulai meredup kian terasa pasca trauma 82. Tahun tahun berikutnya bagi Ucok AKA adalah sebuah kisah komedi gelap berdurasi panjang. Berbagai pekerjaan dilakoninya, agar asap dapur tetap mengepul. Bolak balik Malang – Jakarta pun dijalaninya, karena Jakarta baginya adalah kota industri yang selalu mengepulkan asap dapur rumahnya di Malang.

Bisa dilihat, mulai dari penata ilustrasi musik untuk berbagai film, menjadi pengurus PARFI, membuka usaha batako, menjadi kutu loncat untuk berbagai band rock dari Warrock Power Band, hingga Coksvanska [yang kesemuanya kurang sukses di pasaran], bahkan hingga menjadi paranormal. Hah … Paranormal ??? Ya, seperti dikatakannya bahwa ketika teman temannya yaitu Arthur Kaunang telah bermain musik untuk Tuhan, Sonata Tandjung menjadi pendeta, dan Sjech Abidin menjadi ustadz, maka Ucok memilih menjadi paranormal. Baginya paranormal ataupun pendeta ataupun ustadz adalah sama saja, yaitu memiliki niat untuk menolong orang. Walaupun ia tidak memungkiri bahwa niatnya menjadi paranormal juga disebabkan karena ia tidak ingin bersekolah terlebih dahulu seperti ketika hendak menjadi ustadz ataupun pendeta.

Sampai disini bukan berarti idealismenya luntur karena profesi, karena ia tetap seorang kontroversial bagi publik. Simak saja opini opini pedasnya terhadap kultur industri musik yang selalu mengarahkan musisi untuk bermental kacang goreng. “Jaman sekarang industri selalu memaksa musisi untuk bikin lagu lagu gombal, semuanya tentang cinta, tidak ada yang lain” ujarnya ketus. Bahkan lebih jauh lagi kritiknya terhadap pragmatisme musisi muda juga tidak kalah pedasnya. “Anak muda kalau sudah berhasil di Jakarta, mereka suka lupa sama daerahnya, semua seperti kacang lupa kulitnya” demikian cetusnya. Walaupun ia tidak memungkiri juga bahwa ia sendiri menyukai untuk bekerja sama dengan musisi musisi yang lebih muda. Tercatat beberapa musisi muda seperti Andy /rif, Kaka Slank, pernah mengecap pengalaman berkolaborasi dalam satu panggung bersamanya.

Ucok AKA kini memang sudah tenggelam dalam pentas pentas besar industri musik tanah air. Namun bukan berarti sejarahnya terlupa begitu saja. Tercatat 17 album bersama AKA, 3 album bersama Duo Kribo, serta 10 album solo karir adalah ukuran panjang yang membuat prestasinya susah untuk disamai musisi era sekarang. Bahkan sumbangsihnya terhadap kultur lokal Malang juga cukup besar, ketika ia menciptakan Mars Arema untuk pertama kalinya.

Di usianya yang ke 69 tahun ini, ia memilih untuk hidup menyepi di Malang, dengan membuka klinik musik, cafe musik, dll untuk menyambung hidupnya. Ia sendiri memilih untuk tidak terlalu terlibat dalam industri musik lokal Malang era kekinian. Kemalasannya untuk mengatur kebengalan musisi musisi muda setempat adalah sebabnya, walaupun ia sendiri mengakui bakat dan potensi besar dari para musisi setempat. Namun baginya selain bakat, juga harus ditunjang dengan kemauan, disiplin, serta modal dan kesempatan, untuk menjadikan seorang musisi berkualitas dan mempunyai karya besar. Hal hal inilah yang seringkali dilupakan oleh musisi muda era sekarang, terlebih di jaman dimana teknologi telah sangat menguasai.

Berkunjung ke rumah Ucok AKA yang berada di sebuah lembah, di Lawang, distrik utara kota Malang ini, serasa sebuah perjalanan ke masa lalu. Rumah yang berada dalam tanah yang luas ini selain menjadi klinik musik dan cafe juga diabadikan sebagai sebuah museum pribadi yang menyimpan artefak artefak perjalanan musik rock Indonesia beberapa dekade silam. Ketidakmampuan dirinya untuk berpisah dari dunia musik rock teraplikasikan dalam berbagai hal di sekitarnya.

Penataan rumah dengan gaya hippies, bongkar pasang mobil holden tahun 60an miliknya hingga lebih menyerupai tank perang Gotham city milik Batman, sampai penamaan berbagai tempat di rumahnya dengan aroma generasi bunga seperti ruang lesehan Jimi Hendrix, adalah buktinya. Bahkan tidak jarang berbagai objek remeh temeh seperti kotak pos, papan penanda jalan masuk rumah, hingga bandul kalung, dll, turut menjadi objek romantisme Ucok AKA terhadap era kejayaan AKA band puluhan tahun silam. Eyang Ucok AKA ini sekalipun telah uzur dan menjadi kakek kakek namun tetap bermusik dan berjiwa rocknroll, sebuah ciri khas generasi lama di kota dingin Malang. Motto HIGAM, Hidup Gembira Awet Muda tetap menjadi semboyan hidupnya di usia tua ini.

komentar

Posting Komentar

About

my logo

my logo

My Playlist

Pages

Blog Archive

Followers